Saturday, March 23, 2013


Kisah Seorang Ayah Takmengakui Anaknya

Saya adalah anak sulung dari lima bersaudara kandung, namun hal itu baru saya ketahui saat usia 21 tahun.  Saat saya dilahirkan orang tua saya belum menikah. Untuk menutupi rasa malu saya diadopsi oleh kakek-nenek dari pihak Ibu. Sehingga sejak saya lahir saya masuk daftar keluarga Kakek dan menjadi anak bungsu dari tujuh bersaudara. Jika berbicara masalah sakit hati, sejak dalam kandungan Ibuku saya sudah sakit hati sebagai anak yang ditolak kehadirannya.
Saat saya usia SD kelas tiga saya dititipkan pada salah satu kakak perempuanku di kota yang berbeda demi menuntut ilmu. Saat itu kakak perempuan saya sudah berkeluarga dan mempunyai 4 empat orang anak—tiga perempuan dan satu laki-laki.Merasa ikut dengan kakak apalagi sudah disekolahkan otomatis saya harus tahu diri bagaimana hidup "menumpang" pada saudara, sikap kakak perempuan saya ataupun kakak ipar saya sungguh-sungguh meyakinkan saya bahwa saya memang bukan siapa-siapa di rumah itu. Saya adalah seorang adik yg dititipkan di rumahnya. Perilaku mereka terhadap saya sungguhlah menyakitkan. Saya merasa tidak punya hak apapun di rumah itu, sekian puluh tahun lamanya saya memendam perasaan tertekan. Saat malam datang saya selalu menangis meratapi nasib yang harus saya jalani. Sering saya menjerit merasa Tuhan tidak adil dalam hidup saya.Hatiku lebih bagai tertusuk sakit rasanya saat melihat keluarga kakak saya bermain bersama di kamar—bercanda bersama di atas tempat tidur, sementara saya duduk di lantai, di ujung pintu melihat semua itu dengan penuh pahit dan getir—tak terasa air mata ini mengalir…Hingga suatu saat salah satu keluarga saya (Tante saya) datang pada saya dan menceritakan siapa saya sebenarnya. Tante saya tidak tega melihat perilaku orang tua saya pada saya sehingga dia memberanikan diri untuk menceritakannya.Ibarat petir di siang bolong saat saya mendengar semua cerita itu. Bumi serasa berhenti berputar. Saat itu saya berusia 21 tahun masih kuliah. Sungguh saya tak percaya mengetahui kenyataan bahwa selama ini berpuluh-puluh tahun lamanya, sebenarnya saya hidup dengan orang tua kandung saya sendiri. Orang tua yang melahirkan saya! Orang tua biologis saya! Dan saudara-saudara kandung saya! Yang saya tahu sebelumnya, saya adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, mendadak, seketika itu, saya harus menerima kenyataan bahwa sesungguhnya saya adalah anak sulung dengan empat orang adik.Ya Tuhan….aku kehilangan hak kesulungan yg seharusnya aku dapatkan, aku kehilangan masa kecil saya yang seharusnya dipenuhi dengan kasih sayang utuh dari Ayah dan Ibu saya. Sekian lamanya saya kehilangan masa-masa bahagia seperti itu. Kenapa mereka begitu tega berbuat semua ini terhadap saya? Kenapa selama ini saya dibohongi, hingga sempat beberapa kali saya ingin mati saja...saya tidak kuat!Begitu berat yang saya rasakan sehingga saya mengalami depresi. Selama tiga bulan saya hidup dengan obat penenang dan pengawasan psikiater...!!Orang tua kandung saya pun meminta maaf kepada saya. Namun saat itu untuk memaafkan masih terasa begitu berat bagi saya, karena kekecewaan dan sakit hati masih begitu dalam dan kuat.Saya rasakan selama saya hidup dengan mereka. Memori saya kembali berputar. Getir rasanya mengingat saat saya melihat dan mendengar orang tua saya berbohong dengan mengatakan anak mereka empat orang setiap kali ada pertanyaan masalah jumlah anak. Hati ini bagai ditusuk saat saya mendengar dengan telinga saya sendiri berkali-kali Ibu saya menyangkal—tidak mau mengakui saya sebagai anak kandungnya. Begitu tega Ibu saya mengarang cerita saya hanyalah adik yg dititipkan orangtuanya.... oohhh....!!Saat saya mengalami luka karena status saya yang tidak jelas anak siapa dan beberapa kali saya dikatakan "anak haram" oleh orang lain, saya ingin sekali menangis menumpahkan rasa sakit itu pada orang tua saya sebagai orang yang melahirkan saya. Namun yang ada justru sebaliknya mereka marah dan tidak mau tahu apa yang saya rasakan, hingga saya berpikir orang tua saya lebih mementingkan perasaan mereka dari pada perasaan anaknya.Kenapa saya tidak dibunuh saja saat saya lahir sehingga saya tidak perlu mengalami rasa sakit ini....???Usia 25 tahun saya menikah. Pernikahan yang seharusnya penuh sukacita namun justru sebaliknya, karena saat pemberkatan nikah di gereja dibacakan di situ bahwa saya adalah anak yatim piatu, sementara di sebelah saya duduk kedua orangtua kandung saya. Air mata saya mengalir… ingin rasanya saya berteriak dan mengatakan pada semua orang, “Saya masih punya orang tua yang hidup! Dan mereka ada di sini!!”Sangat menyakitkan ketika tahu saya tidak diakui sebagai anak kandung secara hukum. Saya hanya diakui secara biologis saja.Menikah dalam kondisi emosi yang masih labil sangat mempengaruhi hidup suami istri. Saya menjadi orang yang sangat emosional dan sensitif, mudah terluka. Bersyukur saya mempunyai suami yang sangat sabar dan mengerti serta memahami sikap saya.Saya pun aktif pelayanan di gereja, namun yang saya rasakan pelayanan hanyalah sebuah pelarian dan untuk menghabiskan waktu saja. Tidak ada pertumbuhan apapun yang saya dapat dari aktifitas di gereja.Hingga suatu saat, saya merasa ada yang tidak beres dalam hidup saya. (Saya yakin itu adalah pekerjaan Roh Kudus.) Tidak ada damai sejahtera dalam hati saya. Hubungan pribadi saya dengan Tuhan begitu kering. Sudah saatnya saya berubah. Saya tidak mau hidup diintimidasi kekecewaan dan luka batin. Tuhan menunjukkan jalan yang benar. Saya dituntunNya.Saya mendatangi pendeta dan konselor. Saya sungguh-sungguh butuh ditolong dan didoakan. Akupun menjalani masa rekonsiliasi yang tidak sebentar, namun membutuhkan waktu yang sangat lama, hingga akhirnya saya mengerti apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup saya.Bersyukur saya mengalami semua ini, karena saya yakin dan percaya kalau saya ada bukan karena kebetulan tapi karena Tuhan mau dan Tuhan punya rencana. Saya mengampuni kedua orangtua saya dengan penuh kasih dan tanpa syarat, walaupun hingga saat ini kedua orang tua saya belum secara sungguh-sungguh berani mengatakan bahwa saya adalah anak kandungnya di depan orang lain dengan alasan nama baik dan menutupi aib keluarga. Namun sampai kapanpun saya tetap mendoakan mereka supaya Roh Kudus menjamah hati mereka.Hingga akhirnya Tuhan mengirim saya untuk mengikuti Leadership Training Living Waters di Bali bulan Februari tahun 2010. Di situlah saya makin dikuatkan Tuhan dan merasakan KasihNya yang begitu besar dalam hidup saya. Di dalam seminar itu saya merasa diterima dengan penuh kehangatan.Mereka mendukung dan mendoakan saya. Sungguh komunitas yang indah di dalam Tuhan. Terima kasih Tuhan Yesus.Seminar yang menjadi berkat dan menguatkan setiap orang yang mengikutinya, sehingga saya menjadi pribadi yang merdeka di dalam Kristus.Luka itu masih ada tetapi tidak sakit lagi. Namun melalui luka yang pernah saya alami Tuhan ingin saya bisa berbagi dengan orang lain, menjadi kesaksian yang hidup bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia ada dari sejak dahulu, sekarang dan selama-lamanya. Tuhan yang memulihkan dan Living Waters menjadi salah satu alatNya...Haleluya!!Saat ini saya aktif pelayanan gereja di bidang konseling. Di dalam kelemahan Tuhan menunjukkan KekuatanNya. Pemulihan itu masih terus terjadi hingga saat ini. Dibutuhkan kerelaan dan kerendahan hati untuk mau dibentuk Tuhan karena hal itu bukanlah hal yang mudah, karena pasti sakit. Butuh perjuangan dan air mata! Namun Tuhan akan membentuk saya menjadi bejana yang indah sehingga NamaNya makin dimuliakan.

No comments:

Post a Comment