Monday, March 11, 2013

Kisahku Sebagai Anak Adopsi


Hal pertama yang memulai kenyataan bahwa aku seorang anak adopsi / pungut ketika aku kelas 1 SD. Ketika aku pulang dari sekolah dan melewati rumah tetanggaku terdengar teriakan " Anak pungut lewat! "

Teriakan itu berulang kali kudengar setiap aku pulang sekolah.Awalnya aku cuek saja tapi semakin lama aku bingung, kenapa setiap aku lewat rumah tetanggaku selalu mendengar ucapan itu. Padahal saat aku lewat hanya aku seorang diri, muncul pertanyaan dalam benakku "Siapa yang dimaksud Anak pungut itu ?"
Hingga suatu hari ketika aku pulang sekolah dan mendengar teriakan itu, aku mendatangi rumah tetanggaku itu dan bertanya siapa yang dimaksud anak pungut tersebut. Alangkah kagetnya ketika tetanggaku menjawab "Elu kan anak pungut! Mang ga tahu?" Ucapan itu terasa petir secara aku masih kecil, masih kelas 1 SD.

Aku lari pulang sambil menangis. Sampai rumah kutemui mamaku, ku bertanya "mama, kata tetangga di ujung aku anak pungut! Bener itu ma?" Mamaku sangat kaget dan ikut menangis karena melihat tangisku. Mama memelukku dan berkata "iya , kamu anak angkat. Kamu BUKAN ANAK KANDUNG papa dan mama" Saat mendengar pernyataan itu langsung aku menangis menjerit. Aku bertanya ke mamaku "Siapa mama kandungku?" lalu mamaku masuk ke kamar , mengambil sesuatu dari dalam lemari. Ternyata mamaku mengambil sebuah surat yang terlihat sudah lusuh. Mamaku menyodorkan surat tersebut dan menyuruhku membacanya. Kubuka suratnya dan kubaca tulisan tangan, disitu dijelaskan bahwa aku diserahkan untuk diadopsi tapi yang kusesalkan aku tidak ingat sampai sekarang siapa nama ayahku kandungku yang tertera di surat itu.


Anak seusiaku masih kelas 1 SD dipaksa untuk mengerti dan mengetahui asal-usulku yang sebenarnya. Usia yang seharusnya belum pantas mengetahui semua itu. Sejak saat itu aku merasa minder dan malu dengan lingkungan di rumahku.

Hari terus berjalan, setelah kejadian itu sikap mamaku berubah drastis kepadaku. Awalnya sebelum kejadian itu, mamaku selalu baik dan sangat sayang kepadaku secara aku adalah anak perempuan tunggalnya. Hari demi hari sikap dan ucapan mamaku semakin kasar.

Setiap hari aku harus belajar dengan keras untuk mendapat nilai yang paling sempurna, jika nilai ulanganku mendapat nilai 7, aku langsung dihukum, aku dipukul dengan sapu lidi, ditampar, tidak boleh nonton tv.
Bahkan kalau aku ada PR sekolah tapi tidak bisa mengerjakan pasti aku langsung dibentak, dimarahi kasar.

Satu malam, aku lupa aku kelas berapa tapi pastinya aku masih SD. Aku belajar ulangan IPS, sudah 2 jam aku belajar menghafal tapi aku tetap tidak bisa saat ditanya jawab oleh mamaku. Saat aku salah menjawab, mamaku langsung memukulku hingga akhirnya aku disuruh belajar lagi sampai jam 9 malam, tapi tetap saja aku ga bisa jawab saat tanya jawab dengan mamaku, entah ada apa dengan diriku saat itu hingga tidak ada 1 pun materi pelajaran yang masuk ke otakku. Setelah nilai ulangan dibagi, ternyata aku dapat nilai 67. Aku takut sekali saat itu, takut dimarahi. Sampai dirumah aku tunjukkan hasil ulanganku ke mamaku dengan sangat takut. Ternyata benar mamaku marah besar, dia berkata "Dasar anak bego! Ulangan begini aja cuma dapat 67! Dasar anak pungut, uda bagus diurus tapi ga tau terima kasih! Kalau gue ga pungut, elu uda mati di tong sampah"

Hati ini sangat sakit mendengar ucapan itu, hari terus berjalan, aku yang seharusnya menikmati masa kecil yang menyenangkan tapi harus dihadapkan dengan situasi yang sangat menyedihkan dan menyakitkan. Kalimat "Dasar anak pungut, uda bagus diurus tapi ga tau terima kasih! Kalau gue ga pungut, elu uda mati di tong sampah" itu selalu teringat di benakku yang membuatku untuk hidup mandiri, memaksaku untuk bisa mengatasi setiap masalah yang ada dengan harapan bahwa aku tidak mengecewakan orang tua angkatku nantinya. Ku berpikir hanya itu yang bisa kulakukan supaya orang tua angkatku setidaknya bisa menerima.
Mamaku juga selalu bilang "Lu jadi anak jangan nyusahin orang tua! Jangan suka nambah masalah, lu itu anak pungut. Kalau elu sakit jgn ngerengek minta diurus" Kalimat itu sebagai pecut dalam hidupku, aku berjanji pada diri sendiri untuk bisa melakukan dan mengerjakan sesuatu sendiri dan tidak pernah mau merepotkan orang tuaku.

Berbagai tantangan kualami, pandangan miring dari lingkungan tetangga sekitar rumah dan juga pandangan miring dari keluarga besar kedua orang tua angkatku. Karena mereka tahu statusku sebagai anak adopsi maka aku juga dikucilkan oleh saudara sepupuku baik dari mama atau dari papa. 

No comments:

Post a Comment