Monday, March 11, 2013



Menanti: Ayah, Kembalilah untuk Kami




Aku akan duduk di serambi rumah, setiap pagi
Memandangi ujung jalan yang bisa aku jangkau dengan sorot mataku, hingga sore akan berakhir
Di dalam rumah aku akan melihat karya-karyamu, sejarah yang ingin kau titiskan kepada anak-anak kita kelak, juga cucu-cucu yang kerap merengek di dongenkan tentang kisah balada anak negeri
Setiap karya itu akan kubaca, cerpen yang kau kemas dengan tata bahasa yang apik, indah dan menggetarkan gelora nurani, juga sajak-sajakmu yang sering berbicara tentang pemberontakan, tentang idealisme yang terkalahkan.
Setiap malam aku selalu bermunajat, menyapa sang pencipta dengan mata berlinang, hanya karena aku kau ajarkan cara bertahan hidup sendirian, menatap matahari pagi dengan sabar. syukuri hal-hal sederhana seperti karena hari ini aku masih mampu duduk di serambi depan, optimis menantimu. Setiap saat.
Aku duduk di kursi tua, juga meja kayu itu. Sudah buram. Rumah ini sebenarnya hanya gubuk, cahaya lampu minyak menerpa wajahku, meninggalkan bekas hitam ketika aku bercermin di pagi hari, lucu dan terkadang aku tertawa sendiri.
Aku memandangi potret pelaminan kita, sebuah masa yang paling indah kala itu. Senyummu sangat sumringah, begitu juga aku. Di samping gambar kita ada wajah-wajah kerabat yang melebarkan senyum dan ketawanya. Semuanya bahagia.
Di tempat tidur sana, beralaskan tikar telah terlelap putri kita. Kau tahu dia sudah berumur 3 tahun, wajahnya separuh adalah dirimu, dia lincah setiap hari, hanya kelucuan dan harapan yang terpancar di dirinya yang membuatku betah berlama-lama, dia mewarisi kesabaran, seperti yang kau ajarkan padaku.
Dia terlelap, sebelum tidur biasanya dia akan meminta aku menggambarkan wajahmu. Dia akan mengatakan seperti apa wajah ayahku, tolong bunda gambarkan, aku ingin bertemu dengannya di dalam mimpiku. Ah…anak sekecil dia sudah terlalu pintar menambah kesedihanku.
Kau meninggalkan dia sejak masih merah, aku tahu di sana kau akan sangat merindukan dirinya. Kau pasti ingin memegang tangannya, lalu menggelitik pinggangnya hingga dia terpingkal-pingkal senang. Kedua pipinya akan memerah, lalu kau kecup keningnya seraya berucap: tidurlah nak besok bangunlah pagi-pagi, aku akan mengajakmu ke suatu tempat, di sana banyak sekali kupu-kupu warna warni yang bisa kita pandangi, nikmati keindahannya hingga senja menjemput.
Subuh aku akan bangun, ketika itu putri kita masih akan terlelap, kuperbaiki selimutnya. Setelah itu aku akan bermunajat. Duduk sambil memikirkan dirimu. Kapan kau akan kembali untukku?
Jangan kau habiskan waktu untuk menjauh dariku, aku sangat paham kau adalah seorang pejuang. Sejak aku mengenal dirimu banyak sekali yang telah kau tunjukkan kepadaku, tentang kederhanaan, perjuangan dan kejujuran.
Aku masih ingat, kau rela lembur ketika menjadi kuli hanya karena aku ingin sekali mengenakan sebuah baju mahal di toko butik, waktu itu aku memanfaatkan ngidamnku untuk meminta keinginanku padamu. Dan entah kenapa aku selalu ingat hal itu sebagai hal terindah yang kau berikan, maafkan aku.
Aku akan duduk di tempat biasa, setiap hari aku menantimu. Waktu yang berputar seakan-akan mengantarmu lebih cepat ke hadapanku, dan lebih cepat pula anak kita akan memeluk tubuhmu, setelah sekian lama kau tak dia kenali. Walau potretmu sudah lusu dia pegangi, dipandanginya setiap hari.
aku menerima perpisahan denganmu karena aku yakin pertemuan dan kedatanganmu akan melepaskan kepenatan aku dan putrimu. Aku selalu menantimu pulang. Setiap aku terjaga, aku selalu berharap kau akan mengetuk pintu rumah kita.
Berharap selalu kau akan berdiri di depan pintu. Aku berharap kau sehat, kau akan pulang dengan selamat.

No comments:

Post a Comment