Monday, March 11, 2013



Sepotong Kisah Si Anak Pungut


Aku terlahir dari sebuah keluarga besar yang sederhana, di kota kecil yang sederhana pula. Ayahku, dia memilih untuk menyerahkanku pada seorang pria, kerabatnya, yang tiada berputra dalam dua perkawinannya. Tidak. Aku tidak lantas membenci Ayahku. Lagipula, apa salahnya untuk menyerahkan hak asuh atas aku pada seorang sahabat yang lebih membutuhkan kehadiranku.
Pria itu, lebih baik mulai sekarang aku panggil dia Ayah, adalah seorang supir tentara militer dari kesatuan yang berada tak jauh dari rumah kami. Dia tinggal hanya bersama istri dari perkawinan keduanya, di sebuah gubuk bambu sederhana, beberapa meter dari rumah keluarga kandungku. Gubuk itu—pada waktu itu—hanya berdindingkan anyaman kulit bambu dengan lantai semen yang dilepo seadanya. Sangat sederhana. Sampai sekarang aku tak tahu, apa yang membuatnya bersedia menampungku. Sebagai seorang pria yang dekat dengan para tentara, ia adalah seorang laki-laki yang tegas, keras. Para tetangga tak sedikitpun mampu menatap kedua matanya ketika ia berjalan. Semua saja di sekelilingku hormat padanya. Pada Ayahku. Aku mencintainya dengan sepenuh hatiku. Dia abdikan hidupnya demi untuk membiayai pendidikanku. Aku, yang hanya seorang anak angkat ini. 
Upah sebagai supir tidaklah cukup untuk menyekolahkan aku. Apalagi sekolahku adalah sekolah favorit di kota kami. Maka ia buka sebuah warung nasi pecel. Ibuku, istri Ayahku yang menjalankannya, bersama adik perempuannya, yang wajahnya rusak terkena azab—mungkin bukan azab, mungkin hanya penyakit yang aku tak tahu. Bibir bawahnya tertarik kebelakang hingga membuatnya perot. Aku dengar dari beberapa sanak keluarga dan tetangga, bahwa suara petirlah yang membuatnya perot. Aku tak pernah percaya, tapi hal yang demikian itu memang sudah jadi kepercayaan orang-orang di sekelilingku. Takhayul. Hanya karena malas mencari sebab musabab suatu hal melalui ilmu pengetahuan modern, lalu sekonyong-konyong mereka percayakan keyakinan mereka pada takhayul. Takhayul juga ilmu pengetahuan, hanya saja tak pernah dibuktikan secara kontinyu kebenarannya. Aku tak pernah temui hal yang menyenangkan dari takhayul. Semua-semua saja dari takhayul diciptakan hanya untuk membuat orang menjadi takut. Takut, dan hanya rasa takut yang diberikan oleh pengetahuan bernama takhayul itu, lebih tidak. Lalu buat apa aku percaya pada sesuatu yang hanya membuat orang merasa takut.
Di sekolah aku termasuk ke dalam golongan anak yang pandai, mungkin karena aku cukup tahu diri, Ayahku bukannya tidak berkorban banyak demi untuk membuatku terpelajar. Maka aku tak pernah sia-siakan pendidikan yang telah diusahakan Ayahku. Aku lulus dari SMU favorit di kota kami dengan nilai yang sangat memuaskan. Dari kelas MIPA pula. Sampai sekarang, sekolahku itu pun masih jadi sekolah favorit. Sebuah bangunan peninggalan Belanda yang terletak di sebelah barat Kali Brantas. Selepas SMU, sebagian besar anak seusiaku melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di luar kota. Tapi, aku. Tidak. Aku tidak akan bebani Ayahku dengan biaya kuliah yang bukan main mahalnya itu. Aku hanya ingin bekerja. Aku hanya ingin lekas membalas segala pengorbanan yang telah Ayahku berikan padaku. Dia bukan semata-mata Ayah pemberian para dewa, dia adalah Ayah yang memilih sendiri anaknya. Aku, anak sahabatnya, anak yang lahir bukan dari rahim istrinya. Dan dia jalani pilihannya itu sepenuh hati.
Ayahku marah sejadi-jadinya ketika aku utarakan maksud hatiku padanya, aku hanya ingin langsung bekerja dan tak ada niat untuk melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi. Jaman sekarang, lulusan SMU mau kerja apa? Kata Ayahku. Bapakmu ini cuma supir! Kamu, harus, harus, dan harus bisa punya kehidupan yang lebih layak dari aku! Jangan pikirkan bagaimana caranya cari uang! Itu urusan Bapak! Urusan kamu cuma belajar! Sekolah yang tinggi, biar kehidupanmu jadi lebih baik dari sekarang! Kata Ayahku dalam dan tegas. Dan aku hanya bisa terdiam. Aku bahkan tak tahu harus kuliah dimana, harus ambil jurusan apa. Aku hanya ingin bekerja. Melepaskan beban Ayahku atas diriku. Anak angkatnya, yang ia biayai kehidupannya dengan sepenuh hatinya.
Suatu siang temanku datang berkunjung. Ayah bertanya padanya tentang rencana temanku itu selepas SMU. Sahaya berencana ke Yogya untuk kuliah, Pak. Kata temanku itu. Bagus, Le. Bagus, kalau kau ingin melanjutkan sekolah. Coba lihat temanmu ini! Kata Ayah pada temanku sembari menunjukku dengan tatapannya yang tajam. Masa dia pengen kerja. Coba, lulusan SMU mau langsung kerja. Mau jadi apa, jadi supir kayak bapaknya? Kata Ayah. Ajak dia ke Yogya, Le. Biar dia lanjutkan sekolah sepertimu. Pinta Ayah pada temanku itu. 
Sepulangnya temanku itu Ayah berkata kepadaku. Le, lihat sekelilingmu sekarang. Apa dapat kau ambil dari lingkungan di sekitarmu ini, Le? Tidak ada. Tak sedikit pun dapat kau ambil dari sini. Lihat kakak kandungmu itu. Bergaul dengan para begundal. Setiap hari minum minuman keras. Seniman, katanya. Bah! Mereka itu tak lebih dari begundal! Mabuk, main perempuan, main klenik. Begitu itu yang namanya seniman? Bah! Lihat Bulikmu, Le. Lihat bagaimana dia terusir dari rumahnya sendiri. Terusir, Le. Bukan karena orang lain. Tak lain dari anak-anaknya sendiri yang mengusirnya! Anak-anak tak tahu diri! Belum punya apa-apa. Belum jadi apa-apa. Tapi sudah berani main cinta. Bah! begitu itu jadinya. Maka aku biarkan dia, Bulikmu itu, bantu-bantu Ibu berjualan nasi pecel. Setidaknya, uangnya bisa buat tambah-tambah uang sekolahmu, Le. Aku tak pernah ingin kau jadi bagian dari lingkungan ini, Le. Pergi. Pergi jauh darisini, Le. Sekolah! Biar kau tak jadi begundal seperti mereka. Sekolah yang tinggi biar kau tak jadi supir seperti bapakmu ini. Belum waktunya kau berpikir soal uang. Biarkan itu jadi urusan bapak. Urusanmu cuma belajar. Belajar yang tinggi, setinggi-tingginya! 
Dan memang lingkunganku pada waktu itu tidak benar-benar sehat. Kakak kandungku, anak dari Ayahku yang lain, aku dengar bertengkar hebat dengan adiknya, kakak kandungku yang lain. Pertengkaran itu membuat kakakku yang lain itu pergi dari rumah. Sampai sekarang pun aku tak tahu dimana dia berada. Masih hidup atau mati pun aku tak tahu. Satu-satunya yang aku tahu, Ayahku yang lain berduka begitu dalamnya, Anak laki-lakinya yang pergi itu adalah satu-satunya anak yang dapat dia banggakan. Dan kakak kandungku yang masih ada di rumah Ayahku yang lain itu, tak sedikit pun menyesal. Benar kata Ayah. Kakakku yang masih tinggal di rumah itu tumbuh jadi begundal. Dia bergabung dengan sebuah paguyuban kuda lumping, menjadi salah seorang penabuh kendangnya. 
Kuda lumping adalah sebuah budaya daerah yang jadi hiburan utama di kotaku. Tapi yang aku tahu, bukan nilai sejarah atau keindahan tariannyalah yang menarik bagi para penonton, melainkan lebih kepada unsur-unsur mistisnya. Sepengetahuanku, tidak ada yang dibicarakan oleh para penonton—selepas acara—selain perilaku para penari yang ‘kesurupan’. Ya. Puncak hiburan kuda lumping adalah ketika para penarinya ‘kesurupan’. Para penari yang ‘kesurupan’ ini akan terus menari mengikuti irama gamelan, bahkan ketika kepala mereka telah bocor dikepruk kendi! Penari yang tetap menari dengan kepala bocor berdarah-darah, bau kemenyan yang membumbung di udara, dan umpatan-umpatan mesum, sama sekali bukan duniaku. Aku pun tahu belaka. Para penari itu tidak sedang ‘kesurupan’, mereka hanya mabuk minuman keras.
Di depan rumah kami, ada sebuah rumah kecil dimana disana seorang perempuan tinggal seorang diri. Ibuku bilang, dia perempuan nakal. Belakangan baru aku tahu, tetangga kami itu adalah seorang pelacur. Setiap malam rumah itu akan selalu gelap, ditinggalkan penghuninya yang mangkal di bawah pohon beringin, beberapa meter dari dusun kami. Di samping rumah kami, tinggal seorang penarik becak. Anak laki-lakinya tak disekolahkannya hingga tuntas. Putus sekolah di jenjang SD dan tumbuh jadi bajingan. Bermain obat-obatan terlarang dan dipenjara. Penarik becak itu menyesal dalam-dalam, mungkin marah pada diri sendiri yang tak becus mengurus anak, dan kemudian menyerahkan dirinya pada minuman keras. Mabuk setiap malam, dan mengumpat keras-keras. Hanya pada Ayahkulah dia tak berani mengumpat. Di hadapan Ayahku, dapat dipastikan bahwa dia akan paksakan kesadarannya—yang telah dirampas minuman keras, untuk tetap berdiri dengan sebaik-baiknya. Aku sadar betul bahwa Ayahku benar sebenar-benarnya. Aku tak mungkin tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkunganku yang tidak sehat ini. Baik. Aku akan pergi. Aku akan teruskan sekolah ke Yogya. Akan aku angkat kehidupan kita, Ayah, seruku dalam hati. 
Dan aku pun pergi ke Yogya. Kuliah. Ayahku yang seorang supir itu hanya ingin aku jadi terpelajar. Betapa mulia keinginan seorang Ayah yang hanya ingin agar anaknya menjadi seorang terpelajar, anak laki-laki yang ia pungut ini, anak-laki-laki pilihannya sendiri. 
Aku tinggalkan gubuk bambu itu. Pergi ke Yogya, kota yang lebih besar dari kotaku sendiri. Kelak, sekembalinya aku dari Yogya, tak ingin lagi aku melihat Ayahku tinggal berdinding bambu, beralas semen yang dilepo seadanya itu. Tunggu Ayah. Tunggu anakmu ini pulang. Aku akan angkat kehidupan kita yang sekarang ke tingkat yang lebih baik. Karena esok, harus, harus, dan harus jadi lebih baik dari sekarang.

No comments:

Post a Comment